Sunday, February 12, 2012

Darah Ditengah Kemilau Emas Freeport


PT. Freeport Indonesia
PT. Freeport di Papua telah berhasil mengeruk keuntungan hingga miliaran dollar pertahun. Sejak berdiri, kecaman atasnya datang silih berganti.
PT. Freeport beroperasi di Papua sejak April 1967. Perusahaan asal Amerika Serikat yang menguasai cadangan emas dan tembaga kedua terbesar di dunia itu memulainya dengan kontrak karya I. Freeport melakukan eksplorasi dilahan yang diperkirakan mengandung cadangan bijih emas terbesar, 2,5 miliar ton. Dalam perjalanannya, sepanjang 1992 hingga 2002, Freeport telah berhasil melambungkan produksinya hingga 5,5 juta ton tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas. Pada 1998, perusahaan ini bahkan berhasil menghasilkan agregat penjualan sebesar 1,71 miliar pon tembaga dan 2,77 juta ons emas. Dengan penghasilan itu Freeport mengantongi keuntungan triliunan rupiah sepanjang tahun.
Dalam kurun waktu dua tahun berproduksi sejak 1973, PT. Freeport yang dulunya perusahaan tambang kecil berhasil mengantongi perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambang. Itu belum termasuk hasil ikutan seperti emas dan perak. Juga belum termasuk penemuan lokasi tambang baru pada 1988 di Pegunungan Grasberg yang mempunyai timbunan emas, perak, dan tembaga senilai US$ 60 juta miliar. Ironisnya, dengan kekayaan sebesar itu, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan meningkat pesat disekitar pertambangan PT. Freeport.
Pencemaran lingkungan selanjutnya menjadi persoalan serius. Penambangan oleh Freeport telah menghasilkan galian berupa potential acid drainase (air asam tambang) dan limbah tailling (butiran pasir alami hasil pengolahan konsentrat). Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang dari 250 ribu metrik ton bahan tambang. Material bahan yang diambil hanya 3%. Inilah yang diolah menjadi konsentrat kemudian diangkut ke luar negeri melalui pipa yang dipasang ke kapal pengangkut di Laut Arafuru. Sisanya, sebanyak 97% berbentuk tailing. Aktivitas ini mengakibatkan, fenetasi hutan daratan rendah seperti Dusun Sagu masyarakat Kamoro di Koprapoka, dan beberapa dataran rendah di wilayah Timika hancur. Parahnya lagi, terjadi pula perubahan iklim mikro akibat penambangan terbuka.
Sebuah lembaga audit lingkungan independen Dames & Moore melaporkan pada tahun 1996, dan disetujui oleh pihak Freeport, ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal dihasilkan tambang tersebut selama beroperasi. Hasil investigasi The New York Times (NYT) tentang limbah tambang Freeport-McMoran di Papua juga demikian. Menurut laporan Freeport sendiri, limbah itu luasnya 8 km persegi. Pada beberapa tempat kedalamannya mencapai 275 meter. Terhadap teguran dari berbagai NGO lingkungan hidup, termasuk ex-mentri Sonny Keraf, Freeport hanya mengatakan, limbah tersebut tidak berbahaya.
Sejumlah agency, konsultan perusahan asuransi yang dipakai Freeport,massive die-off” pada vegetasi disepanjang sungai. Sampel-sampel juga menunjukkan, air sungai mengandung racun yang cukup untuk membunuh organisme sungai yang sensitif. Kemunculan tumbuhan berwarna hijau terang sepanjang beberapa kilometer di tepi sungai telah menunjukkan kandungan tembaga dari limbah telah mencemari sungai. menyebutkan, limbah itu telah menyebabkan “
PT. Freeport Indonesia (PT. FI) adalah bukti kekuatan ekonomi global. Dalam beberapa pendapat, seperti dimuat sejumlah media, disebutkan, selama 40 tahun lebih beroperasi, PT Freeport telah merusak tak hanya pegunungan Grasberg dan Erstberg, tapi juga telah merubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa, mencemari perairan di muara sungai dan mengkontaminasi sejumlah besar mahluk hidup.
Konflik Dimulai
Kemewahan dan dampak Freeport memang tiada duanya. Atas segala aktivitas tambang itu, Freeport menghadirkan pengamanan super ketat tentara dan Polisi yang dibayar jutaan dolar pertahun. Pengamanan ini, dalam beberapa waktu, kerap dijadikan bisnis. Seorang sumber di Timika menyebutkan, bisnis militer dipertambangan Freeport tidak bisa dipandang sebelah mata. “Bayangkan saja, ‘permainan’ yang dilakukan Freeport, pemerintah Timika, pengusaha di Timika dan Militer pada perang dua suku Amugme dan Dhani pada tahun 2007 silam,” ujarnya. Saat itu bisnis militer yang dijalankan adalah dengan mengantar para penambang dari kedua suku menggunakan truk tentara. Mereka dikenai jutaan rupiah per kepala. Rata-rata truck memuat 30 orang. Dari bisnis ini, militer meraup untung hingga miliaran rupiah. Penambang adalah mereka yang harus membayar denda secara adat usai berperang. Jumlahnya ratusan. Mereka mencari emas diwilayah penambangan Freepot dan kemudian dijual pada pengusaha emas di Timika.
Pendapat sumber tersebut sejalan dengan Poengky Indarti, Direktur Hubungan Eksternal Imparsial. Dalam sebuah kesempatan pekan kemarin, Poengky mengatakan, sejumlah insiden berdarah di Timika, termasuk penembakan terakhir seorang WNA Australia di kawasan operasional PT. Freeport Indonesia, lebih banyak terkait perebutan bisnis jasa keamanan antara militer dan polisi. Menurutnya, sejak dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 63/2004 tentang pengamanan objek vital nasional, keamanan diserahkan kepada pihak internal. Di Tembagapura, diserahkan kepada PT. Freeport dan kepolisian. “Dahulu keamanan Freeport diserahkan kepada TNI hingga dua batalyon,” katanya.
Menurut Poengky, Freeport merupakan perusahaan strategis. Dia penyumbang pajak terbesar dan mendukung dana otonomi khusus. Freeport juga memberikan sumbangan dana keamanan yang besar sehingga timbul persaingan dan gesekan antara Polri dan TNI. Meski belakangan, hal ini dibantah pihak Kodam XVII Cenderawasih bahwa militer tidak terlibat. Menurut Poengky, pernyataan itu harus dibuktikan dan diselidiki di pengadilan
Seperti Poengky, Yosepha Alomang, Direktris YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan)  di Timika juga mengatakan, dalam operasi, PT. Freeport telah membuat masyarakat mengalami banyak goncangan. Mereka dibunuh, disiksa dan diperkosa oleh aparat keamanan yang dibayar Freeport. “Masyarakat adat di sekitar areal penambangan tidak merasakan hasil dari tambang raksasa itu. Justru rakyat menjadi korban,” ujarnya.
Sampai disini, Freeport akhirnya dianggap sebagai biang konflik. Penentu bisnis militer dan sebagai alasan terjadinya kekerasan di Timika. Atas persoalan ini, Brad Adams, Direktur Eksekutif Human Rights Watch (HRW) Regional Asia dalam pemaparan hasil penelitian tentang bisnis militer di Indonesia, beberapa waktu lalu, yang dilaporkan dengan judul “Too High a Price: The Human Rights Cost of the Indonesian Military’s Economic Activities” menyebutkan, praktik bisnis yang terus-menerus dibiarkan tentu akan mendorong munculnya kecenderungan perilaku di kalangan militer untuk  mencari rente atau keuntungan (rent-seeking behaviour). Ini terjadi di sejumlah bisnis pertambangan, seperti  Exxon dan Freeport. Keterlibatan militer di dunia bisnis kerap  pula menimbulkan pelanggaran HAM. “TNI punya catatan suram di bidang HAM. Dan pelanggaran-pelanggaran itu dipicu  praktik bisnis militer yang dilakukan dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan  institusi yang tidak bisa dipenuhi oleh anggaran negara,” ungkap Adams. Menurutnya, komitmen para petinggi TNI harus diwujudkan dengan segera  untuk mengakhiri bisnis militer. Apabila tenggat waktu itu dipenuhi, reformasi di bidang keuangan militer tentu akan menandai terjadinya kemajuan besar ke arah reformasi  struktural TNI.
Jika tidak, tentu dipastikan, perusahaan yang dikuasai AS dengan 81,2 saham itu akan selalu mengalami nasib buruk. Kekerasan dan pembunuhan pasti akan terus terjadi sepanjang tahun. Mungkin inilah yang mendorong Arkilaus Arnesius Baho, mantan Ketua Umum AMP Internasional, untuk mengatakan Freeport adalah otak di balik tumbuhnya benih-benih kekerasan terhadap kedaulatan rakyat Indonesia. (JUBI/Jerry Omona)

No comments:

Post a Comment